![]() |
| Undang-Undang Pelayaran (Sumber: kabarcrew.biz.id) |
Undang-undang pelayaran Indonesia memiliki peran penting dalam mengatur dan melindungi sektor maritim nasional, termasuk salah satu elemen vitalnya: Anak Buah Kapal (ABK). Sebagai ujung tombak operasional kapal, ABK memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keselamatan dan kelancaran pelayaran. Namun, bagaimana perlindungan hukum terhadap mereka diatur? Artikel ini akan membahas secara ringkas Undang-Undang Pelayaran dan dampaknya terhadap hak ABK di Indonesia.
Apa Itu Undang-Undang Pelayaran Indonesia?
Undang-undang pelayaran Indonesia yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Regulasi ini menggantikan UU No. 21 Tahun 1992 dan hadir sebagai pembaruan untuk menjawab tantangan global di bidang pelayaran.
UU No. 17 Tahun 2008 mencakup berbagai aspek penting dunia pelayaran, mulai dari penyelenggaraan pelabuhan, keselamatan pelayaran, pengawakan kapal, hingga perlindungan lingkungan maritim. Secara keseluruhan, undang-undang ini berfungsi sebagai dasar hukum yang mengatur kegiatan pelayaran nasional, baik untuk kapal berbendera Indonesia maupun kapal asing yang beroperasi di perairan nasional.
Perlindungan Hukum bagi ABK dalam UU Pelayaran
Salah satu aspek penting dari UU No. 17 Tahun 2008 adalah perlindungan terhadap hak-hak ABK. Dalam praktiknya, ABK sering kali menghadapi berbagai persoalan, mulai dari jam kerja yang berlebihan, gaji tidak dibayar, hingga perlakuan tidak manusiawi di atas kapal.
Berikut ini beberapa ketentuan dalam Undang-undang pelayaran Indonesia yang berhubungan langsung dengan hak ABK:
1. Kewajiban Pengawakan Kapal
Pasal 118 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menegaskan bahwa setiap kapal wajib diawaki oleh personel yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ukuran dan jenis kapal yang dioperasikan. Ketentuan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bagian penting dari sistem keselamatan pelayaran secara keseluruhan. Dalam dunia maritim, kualitas dan kompetensi Anak Buah Kapal (ABK) menjadi faktor kunci yang menentukan keamanan, efisiensi, dan keberlangsungan operasional kapal. Tanpa keahlian yang memadai, risiko terjadinya kecelakaan di laut meningkat drastis, baik itu dalam bentuk kebakaran, tabrakan, kerusakan mesin, hingga pencemaran lingkungan.
Penerapan pasal ini sekaligus menjadi upaya hukum untuk memastikan bahwa para ABK benar-benar memiliki pengetahuan teknis, kemampuan praktis, serta sertifikat yang diakui secara nasional maupun internasional. Pemerintah, melalui otoritas pelayaran dan lembaga diklat kepelautan, bertanggung jawab dalam proses sertifikasi dan pelatihan untuk menjamin standar kompetensi yang seragam. Setiap posisi di atas kapal — mulai dari mualim, juru mesin, hingga kelasi — memiliki kualifikasi tersendiri yang tidak bisa dipenuhi secara sembarangan.
Lebih jauh lagi, aturan ini menjadi payung hukum bagi perlindungan hak-hak ABK. Dengan standar kompetensi yang diatur secara jelas, ABK memiliki dasar hukum yang kuat untuk menolak praktik-praktik ketenagakerjaan yang merugikan, seperti penempatan di kapal yang tidak sesuai sertifikasi atau upah yang tidak sebanding dengan tanggung jawab pekerjaan. Singkatnya, Pasal 118 bukan hanya menjaga keselamatan pelayaran, tetapi juga memperkuat posisi profesional dan hukum ABK dalam industri maritim Indonesia yang semakin kompetitif.2. Sertifikasi dan Pelatihan
Undang-undang ini juga menegaskan bahwa ABK harus memiliki sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh otoritas berwenang. Sertifikasi ini tak hanya menjadi syarat formal, tetapi juga bentuk pengakuan atas profesionalitas ABK dalam melaksanakan tugasnya di laut.
2. Sertifikasi dan Pelatihan
Salah satu poin penting dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia yang wajib banget diketahui para pelaut adalah soal sertifikat kompetensi. Jadi, nggak cukup hanya punya pengalaman melaut bertahun-tahun, setiap Anak Buah Kapal (ABK) juga wajib punya sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh otoritas berwenang — biasanya dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut atau lembaga pelatihan kepelautan yang sudah diakui.
Nah, jangan anggap remeh ya, karena sertifikasi ini bukan cuma urusan administratif. Lebih dari itu, ini adalah bentuk pengakuan profesionalitas seorang pelaut. Sertifikat tersebut menunjukkan bahwa seorang ABK benar-benar menguasai tugas dan tanggung jawabnya di atas kapal, mulai dari operasi teknis, keselamatan kerja, hingga penanganan keadaan darurat. Misalnya, untuk jadi juru mudi, mualim, atau juru mesin, ada standar kemampuan dan pelatihan tertentu yang harus dipenuhi.
Sertifikasi ini juga penting buat keamanan dan keselamatan pelayaran secara keseluruhan. Bayangkan kalau kapal dioperasikan oleh kru yang nggak tahu prosedur navigasi, atau nggak ngerti cara menangani mesin kapal yang bermasalah — bisa fatal akibatnya, bukan cuma bagi kapal, tapi juga seluruh awak di dalamnya.
Buat ABK sendiri, punya sertifikat kompetensi itu bisa jadi nilai jual lebih, apalagi kalau ingin bekerja di kapal asing atau naik jenjang karier. Ini ibarat ‘SIM’ bagi pelaut — bukti kalau dia memang layak dan siap bekerja di laut.
Jadi, intinya, sertifikat ini bukan cuma kertas doang. Di baliknya ada tanggung jawab, keahlian, dan bukti bahwa ABK tersebut memang profesional sejati di dunia maritim.
3. Hak atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia, ada aturan penting yang wajib dipahami oleh pemilik kapal dan seluruh kru, yaitu soal keselamatan kerja di atas kapal. UU ini secara tegas menyebutkan bahwa setiap kapal wajib dilengkapi dengan perlengkapan keselamatan kerja dan sistem manajemen keselamatan. Artinya, perlindungan terhadap kru, termasuk ABK, bukan hanya urusan teknis semata, tapi sudah menjadi kewajiban hukum yang harus dipatuhi.
Perlengkapan keselamatan kerja ini mencakup alat-alat fisik yang sering kita lihat, seperti pelampung, jaket keselamatan, sekoci, alat pemadam kebakaran, hingga sistem alarm darurat. Semua itu bukan sekadar pelengkap atau formalitas saat inspeksi, tapi benar-benar bisa menyelamatkan nyawa ketika kondisi darurat terjadi. Bayangkan kalau kapal mengalami kebakaran atau karam di tengah laut, perlengkapan ini jadi penolong pertama sebelum bantuan datang.
Namun yang sering terlupakan adalah aspek sistemik. UU juga mewajibkan adanya prosedur evakuasi, latihan penanganan darurat, hingga sistem komunikasi yang jelas jika terjadi sesuatu yang membahayakan keselamatan kru. Kapal yang baik bukan cuma punya alat lengkap, tapi juga kru yang tahu cara memakainya dan paham langkah-langkah evakuasi yang benar. Nah, di sinilah pentingnya manajemen keselamatan. Setiap ABK harus tahu perannya masing-masing kalau misalnya alarm darurat berbunyi.
Dengan adanya aturan ini, ABK punya dasar hukum yang kuat untuk menuntut keselamatan kerja yang layak. Kalau ada kapal yang tidak memenuhi standar ini, maka itu bukan cuma pelanggaran etika, tapi juga bisa kena sanksi hukum. Intinya, keselamatan di laut bukan urusan coba-coba — semua harus siap sebelum layar terkembang.
4. Larangan Eksploitasi ABK
Undang-Undang Pelayaran Indonesia nggak main-main soal perlindungan terhadap Anak Buah Kapal (ABK). Dalam pasal-pasalnya, UU ini dengan tegas melarang segala bentuk eksploitasi terhadap ABK. Jadi, kalau masih ada kapal atau perusahaan pelayaran yang memperlakukan kru-nya semena-mena—dengan kerja rodi, gaji nggak dibayar, atau jam kerja kelewat batas—itu jelas melanggar hukum.
Setiap pemilik kapal atau perusahaan pelayaran punya kewajiban kontraktual yang harus dipenuhi. Artinya, mereka nggak boleh asal rekrut lalu lepas tangan. Semua hak dasar ABK harus dijamin, mulai dari gaji yang layak dan dibayar tepat waktu, jam kerja yang manusiawi, hingga jaminan asuransi kalau sewaktu-waktu terjadi kecelakaan atau kondisi darurat saat sedang bertugas di laut.
Sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak ABK yang jadi korban ketidakadilan. Misalnya, disuruh kerja lebih dari 12 jam sehari tanpa lembur, gaji ditunda-tunda bahkan dipotong sepihak, atau tidak diberi perlindungan asuransi sama sekali. Hal-hal seperti ini nggak boleh dianggap sepele, karena bisa merugikan ABK secara fisik, mental, dan finansial.
Nah, dengan adanya payung hukum seperti UU Pelayaran, ABK punya landasan kuat untuk menuntut hak-haknya. Kalau perusahaan pelayaran nakal masih ngeyel, bisa dilaporkan ke otoritas maritim atau dibawa ke jalur hukum.
Intinya, UU ini hadir bukan sekadar aturan di atas kertas, tapi untuk memastikan bahwa ABK—sebagai ujung tombak industri pelayaran—diperlakukan dengan adil, manusiawi, dan profesional. Karena kerja di laut itu berat, dan sudah sewajarnya mereka mendapatkan hak-haknya tanpa harus bertarung sendiri.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meskipun perlindungan hukum bagi ABK telah diatur dalam Undang-undang pelayaran Indonesia, implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan serius. Banyak kasus menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak ABK masih terjadi, terutama pada kapal-kapal berbendera asing yang mempekerjakan ABK Indonesia tanpa perlindungan memadai.
Kurangnya pengawasan dari otoritas pelayaran dan ketidaktahuan ABK terhadap hak-haknya sendiri menjadi faktor utama lemahnya penegakan hukum di sektor ini. Selain itu, minimnya akses terhadap bantuan hukum membuat banyak ABK enggan atau takut melaporkan pelanggaran yang mereka alami.
Penutup
Undang-undang pelayaran Indonesia merupakan fondasi hukum penting yang memberikan perlindungan terhadap hak ABK. Namun, agar perlindungan tersebut benar-benar dirasakan, perlu ada sinergi antara pemerintah, perusahaan pelayaran, dan lembaga-lembaga advokasi ABK untuk meningkatkan edukasi, pengawasan, dan penegakan hukum di sektor ini.
Sebagai negara maritim, sudah semestinya Indonesia menempatkan kesejahteraan ABK sebagai prioritas utama. Mereka bukan sekadar tenaga kerja, tetapi juga garda terdepan dalam menjaga kedaulatan maritim Indonesia.

